Loading...

Fikih Adzan (bagian kedua)

Fikih Adzan (bagian kedua) - Hallo sahabat Kabar Islam 24 Jam, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Fikih Adzan (bagian kedua), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Loading...
Judul : Fikih Adzan (bagian kedua)
link : Fikih Adzan (bagian kedua)

Banyak Dicari


    Fikih Adzan (bagian kedua)

    Wajib setiap penduduk negeri mengangkat seorang muazin untuk mengumandangkan azan sesuai lafazh yang disyariatkan.
    Fikih Adzan (bagian kedua)

    Hukum Azan Bagi Musafir [5]

    Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa hukum azan adalah wajib, menurut pendapat yang lebih kuat. Namun bagaimanakah hukum azan bagi musafir, juga iqomahnya?

    Kata Imam Asy Syaukani :
    "Wajib setiap penduduk negeri mengangkat seorang muazin untuk mengumandangkan azan sesuai lafazh yang disyariatkan. Azan tersebut sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Tujuan azan pula adalah sebagai tanda berpegang teguh dengan syari'at Islam. … Adapun untuk yang bukan ahlul balad (bukan penduduk negeri) seperti musafir atau orang yang menetap di padang sahara, maka ia mengumandangkan azan untuk dirinya sendiri, begitu pula dengan iqomah. Namun jika berjama'ah, hendaklah salah satu mengumandangkan azan dan iqomah." [Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 120]

    Beberapa dalil berikut menunjukkan tetap adanya azan saat safar. Imam Bukhari membawakan hadits-hadits berikut ketika membicarakan azan bagi musafir ketika mereka berjama'ah.

    Dari Abu Dzarr, ia berkata :
    "Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu safar, lalu ada seorang muazin ingin mengumandangkan azan, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tundalah, jangan saat panas." Lalu beberapa waktu kemudian, ia ingin mengumandangkan, beliau bersabda, "Tundalah, jangan saat panas." Lalu ia ingin kumandangkan azan lagi, beliau sama bersabda, "Tundalah, jangan saat panas." Sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

    إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

    "Sesungguhnya panas yang sangat itu dari panasnya jahannam." [HR. Bukhari no. 629]

    Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata,

    أَتَى رَجُلاَنِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُرِيدَانِ السَّفَرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا »

    "Ada dua orang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berdua ingin melakukan safar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Jika kalian berdua keluar, maka kumandangkanlah azan lalu iqomah, lalu yang paling tua di antara kalian hendaknya menjadi imam." [HR. Bukhari no. 630]

    Nafi' berkata,

    أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ثُمَّ قَالَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ، أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ . فِى اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوِ الْمَطِيرَةِ فِى السَّفَرِ

    "Ibnu 'Umar pernah mengumandangkan azan di malam yang dingin di Dhojnan, lalu ia mengumandangkan, "Shalatlah di kendaraan kalian." Ia mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salalm pernah menyuruh muazin mengumandangkan azan lalu di akhir azan disebutkan, "Shalatlah di kendaraan kalian." Ini terjadi pada malam yang dingin atau pada saat hujan ketika safar." [HR. Bukhari no. 632]

    Dari Abu Juhaifah, ia berkata,

    رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالأَبْطَحِ فَجَاءَهُ بِلاَلٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلاَةِ ، ثُمَّ خَرَجَ بِلاَلٌ بِالْعَنَزَةِ حَتَّى رَكَزَهَا بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالأَبْطَحِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ

    "Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam di Abthoh, ketika itu datanglah Bilal untuk mengumandangkan azan shalat. Kemudian Bilal keluar membawa tongkat lalu ia menancapnya di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Abthoh, lalu ia mengumandangkan iqomah." [HR. Bukhari no. 633]


    Azan bagi Shalat yang Luput [6]

    Azan itu wajib bagi shalat lima waktu, baik shalat tersebut adalah shalat yang dikerjakaan di waktunya (adaa-an) atau shalat tersebut diqodho (qodho-an).

    Di antara dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tertidur dari Shalat Shubuh dalam safar beliau, beliau baru bangun setelah matahari terbit, lalu beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan iqamah. [HR. Muslim no. 1099, dari Abu Qatadah dalam hadits yang panjang]. Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom.

    Shalat yang luput tersebut pun tetap dikumandangkan azan berdasarkan keumuman hadits,

    فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ

    "Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian." [HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674]. Hadits ini mencakup azan pada shalat di waktunya dan juga bagi shalat yang luput.

    Namun jika di suatu daerah sudah dikumandangkan azan untuk shalat, lalu ada sekelompok orang yang tertidur hingga keluar waktu semisal saat matahari sudah terbit, maka azan ketika itu tidak wajib. Saat itu cukup digunakan azan umum yang sudah dikumandangkan. Karena azan di daerah itu sudah menghasilkan hukum kifayah, gugur kewajiban bagi yang lain. Akan tetapi, untuk yang telat tersebut, cukup bagi mereka mengumandangkan iqamah. [Lihat Syarhul Mumthi', 2: 46]

    Tentang hadits Abu Qotadah yang disebutkan di atas, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin berkata, "Jika telat shalat karena ketiduran, maka kewajiban azan tidaklah gugur. Azan tetap ada meskipun pada shalat yang diqodho. Ini jika sekelompok orang yang telat, maka mereka mengumandangkan azan. Namun jika sudah dikumandangkan azan di negeri tersebut, maka azan itu sudah cukup." [Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 2: 171, terbitan Madarul Wathon]


    Azan bagi Wanita [7]

    Apakah wanita dibolehkan mengumandangkan azan untuk shalat lima waktu?

    Syaikh Muhammad Al 'Utsaimin menuturkan :
    "Menurut madzhab Hambali, azan bagi wanita tidaklah wajib. Baik bersama jamaah perempuan sendiri atau bersama jama'ah laki-laki. Jika tidak dikatakan wajib, lalu apa hukumnya?

    Dalam salah satu pendapat Imam Ahmad disebutkan bahwa hukumnya adalah makruh. Dalam pendapat lain disebutkan masih boleh. Ada juga salah satu pendapat beliau yang menyebutkan disunnahkan. Pendapat Imam Ahmad lainnya juga menyatakan bahwa yang disunnahkan adalah iqamah, bukanlah azan. Namun semua itu dibolehkan jika suara wanita tidak dikeraskan untuk didengar orang banyak. Jika suara tersebut dikeraskan, kami bisa jadi berpendapat hukumnya haram atau minimal makruh." [Syarhul Mumthi', 2: 44].

    Asy Syairozi berkata :
    "Dimakruhkan bagi wanita mengumandangkan azan. Namun disunnahkan mengumandangkan iqamah untuk sesama jama'ah wanita. Untuk azan terlarang karena azan itu dengan dikeraskan suaranya, sedangkan iqamah tidak demikian. Namun wanita tidaklah sah mengumandangkan azan untuk jama'ah laki-laki karena dalam masalah menjadi imam, wanita tidak sah mengimami laki-laki." [Al Majmu', 3: 75]

    Imam Nawawi berkata :
    "Tidak sah jika wanita mengumandangkan azan untuk laki-laki. …. Namun kalau iqamah disunnahkan sesama jama'ah wanita, tidak untuk azan." [Al Majmu', 3: 76]

    Syaikh Musthofa Al 'Adawi berkata :
    "Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan wajibnya azan bagi wanita. Namun tidak ada pula hadits shahih yang menunjukkan haramnya." [Jaami' Ahkamin Nisaa', 1: 299]

    Syaikh Musthofa Al 'Adawi di akhir bahasan tentang azan bagi wanita menyatakan, "Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa wanita terlarang mengumandangkan azan dan iqamah. Begitu pula tidak ada dalil yang jelas yang menunjukkan wanita itu boleh mengumandangkannya.
    Loading...
    Jika saja wanita mengumandangkan iqamah, kami tidak menganggapnya terlarang. Jika pun mengumandangkan azan, hendaknya suaranya dilirihkan. Karena untuk mengingatkan imam saja, wanita tidak mengeraskan suara, namun dengan menepuk punggung telapak tangannya. Wallahu Ta'ala a'laa wa a'lam." [Jaami' Ahkamin Nisaa', 1: 303]


    Azan Bagi Yang Shalat Sendirian (Munfarid)

    Apakah orang yang shalat sendirian (munfarid) perlu mengumandangkan azan? Atau cukup iqamah saja?

    Azan bagi yang Shalat Munfarid

    Siapa saja yang shalat sendirian dan di tempat tersebut sudah dikumandangkan azan sebelumnya, maka ia tidak perlu lagi mengumandangkan azan dan mencukupkan diri dengan azan tersebut. Akan tetapi, apabila ia mengumandangkan azan dan iqamah sekaligus, maka ia akan mendapatkan keutamaan azan sebagaimana disebutkan dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir berikut,

    يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِى غَنَمٍ فِى رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ وَيُصَلِّى فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا إِلَى عَبْدِى هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ يَخَافُ مِنِّى فَقَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِى وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

    "Rabb kalian begitu takjub terhadap si pengembala kambing di atas puncak gunung yang mengumandangkan azan untuk shalat dan ia menegakkan shalat. Allah pun berfirman, "Perhatikanlah hamba-Ku ini, ia berazan dan menegakkan shalat (karena) takut kepada-Ku. Karenanya, Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku ini dan aku masukkan ia ke dalam surga". [HR. Abu Daud no. 1203 dan An Nasai no. 667. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

    Imam Nawawi rahimahullah berkata :
    "Bagi yang shalat munfarid (shalat sendirian) di padang pasir atau di suatu negeri, ia tetap mengumandangkan azan sebagaimana hal ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi'i dan nash jadid dari Imam Syafi'i (pendapat Imam Syafi'i ketika di Mesir). Menurut pendapat lawas (saat Imam Syafi'i di Irak), tidak perlu dikumandangkan azan." [Roudhotuth Tholibin, 1: 141]

    Azan bagi yang Ketinggalan Shalat Jamaah

    Begitu pula jika seseorang ketinggalan shalat berjamaah, jika ia mencukupkan dengan azan yang sudah ada, itu boleh. Tetapi yang utama adalah ia mengumandangkan azan dan iqamah. Demikian perbuatan Anas bin Malik ketika ia terlambat berjamaah. Dari Abu 'Utsman, ia berkata bahwa Anas pernah datang menemui mereka di masjid Bani Tsa'labah. Anas bertanya, "Sudahkah kalian shalat?" Mereka menjawab, "Sudah." Anas memerintahkan pada seseorang, "Ayo kumandangkanlah azan!" Orang yang diperintahkan tersebut lantas mengumandangkan azan dan iqamah, lalu Anas melaksanakan shalat. [HR. Ibnu Abi Syaibah 1: 221, sanad shahih]

    Inilah pendapat dalam madzhab Syafi'i dan Ahmad. Sedangkan Imam Malik dan Al Auza'i berkata bahwa cukup iqamah saja, tanpa azan. Adapun Abu Hanifah dan pengikutnya menyatakan bahwa tidak ada azan dan iqamah.

    Demikian pembahasan yang kami hanya menukil dari Shahih Fiqh Sunnah, 1: 275 dan tambahan dari Roudhotuth Tholibin. Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.


    Azan bagi Shalat yang Dijamak

    Shalat yang dijamak artinya adalah shalat yang digabungkan dalam satu waktu. Shalat yang boleh dijamak adalah shalat Zhuhur dan Ashar, lalu shalat Maghrib dan Isya. Bagaimakah azan dan iqamah saat menjamak shalat?

    Shalat yang Dijamak Apa Saja?

    Ayat berikut sudah menerangkannya. Allah Ta'ala berfirman,

    أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

    "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (QS. Al Isra': 78). Yang dimaksud shalat pada waktu matahari telah tergelincir adalah shalat Zhuhur dan Ashar, sedangkan pada gelap malam adalah shalat Maghrib dan Isya.

    Syaikh As Sa'di berkata dalam Taysirul Lathifil Mannan Khulashoh Tafsiril Quran, "Shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak di satu waktu karena ada uzur, begitu pula shalat Maghrib dan Isya. Karena Allah menggabungkan masing-masing dari dua shalat tersebut untuk satu waktu. Itu berarti waktu kedua shalat tersebut boleh dijamak ketika uzur. Sedangkan bagi yang tidak mendapatkan uzur tetap dua waktu (tidak digabungkan)."

    Azan dan Iqamah pada Shalat Jamak

    Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah (1: 275) berkata, "Jika dua shalat digabungkan satu waktu, misalnya shalat Ashar yang digabungkan ke waktu Zhuhur seperti yang terjadi pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat wukuf di Arafah, begitu pula jamak shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah yang dilakukan oleh beliau, maka cukup dengan sekali azan, sedangkan iqamah untuk masing-masing dari dua kali shalat. Inilah yang dilakukan saat haji dan menjadi pegangan jumhur (baca: mayoritas) ulama. Hal ini berbeda dengan pendapat dari madzhab Maliki yang mewajibkan azan untuk masing-masing shalat."

    Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan,

    إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

    "Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya." [HR. An Nasa'i no. 662. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih li ghoirihi yaitu shahih dilihat dari jalur lain]

    Dalam riwayat Muslim disebutkan,

    حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ

    "Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan 'Isya dengan sekali adzan dan dua kali iqomah." [HR. Muslim no. 1218]

    Kesimpulannya, bagi shalat yang dijamak, azan dikumandangkan sekali pada shalat yang pertama, sedangkan iqamah dikumandangkan dua kali di masing-masing shalat. Itulah yang dipraktekkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

    Semoga bermanfaat. Insya Allah masih tersisa beberapa keutamaan azan yang akan dilanjutkan pada serial berikutnya.

    Hanya Allah yang memberi taufik.

    http://ift.tt/2e7Z3nH

    [Cerkiis.blogspot.com, Sumber: Fikih azan 5, 6, 7, 8 dan 9. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, Artikel Muslim.Or.Id. dengan perubahan seperlunya oleh:arifia]

    [5] Referensi :
    ● Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
    ● Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Al Imam Muhammad bin 'Ali Asy Syaukani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H.

    [6] Referensi:
    ● Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
    ● Syarhul Mumthi', Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1422 H.
    ● Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1426 H.

    [7] Referensi :
    ● Al Majmu' Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad Najib Al Muthi'i, terbitan Dar 'Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
    ● Jaami' Ahkamin Nisa', Syaikh Musthofa Al 'Adawi, terbitan Dar Ibnu 'Affan, cetakan pertama, tahun 1419 H.
    ● Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
    ● Syarhul Mumthi', Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1422 H.


    Demikianlah Artikel Fikih Adzan (bagian kedua)

    Sekianlah artikel Fikih Adzan (bagian kedua) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

    Anda sekarang membaca artikel Fikih Adzan (bagian kedua) dengan alamat link https://kabarislam24jam.blogspot.com/2016/10/fikih-adzan-bagian-kedua.html
    Loading...

    Subscribe to receive free email updates:

    Related Posts :

    0 Response to "Fikih Adzan (bagian kedua)"

    Posting Komentar